Lahir di Solo, pernah 8 tahun tinggal di Bali. Pensiunan abadi sekaligus Web Programmer & owner di Gravis Web Design, juragan CeritaInspirasi.net, PEPeku.com, IlmuPengetahuan.org, Akun.biz, Travelindonesia.org, dan puluhan web lainnya. iOS & Android apps developer, PHP & jQuery engineer, UI designer, tukang foto keliling, hobi maen drum & kibor, internet marketer & SEO master (katanya), writer & editor buku, servis TV & radio, benerin genteng, gali sumur, tukang pijet, serta beberapa side job gak penting lain. Biasanya naik sepeda gayung atau malah jalan kaki. Hobi keliling Indonesia, bongkar-pasang komputer, penikmat seni, suka hal-hal baru, absolutely free-man, dan yang penting suka sambel dan masakan Jawa.
Seorang lelaki, secangkir kopi, dan lamunan sore hari
Akhir-akhir ini aku sering mendengar bahwa “Hidup adalah Pilihan”. Yah, mungkin prinsip tersebut bisa dibenarkan dalam konteks tertentu. Makna dari statemen itu adalah hidup berisi banyak sekali pilihan-pilihan. Hidup kamu dan aku yang sekarang juga hasil dari pilihan-pilihan yang pernah dibuat pada masa lalu. Kuliah di mana? Jadi kerja di situ gak? Mau berangkat ke Denpasar? Itu hanya tiga pilihan yang pernah aku buat beberapa tahun lalu. Yup! Keadaan aku yang sekarang dibangun dari pilihan-pilihanku waktu itu.
Sebuah pesan moral dari statement itu adalah membantu seseorang sadar akan posisinya sekarang, sadar bahwa salah memilih bisa mengakibatkan bencana di masa datang. Pun berusaha memberi petuah, agar berhati-hati dalam menentukan pilihan. Statemen itu memberi semangat untuk berani berubah, meninggalkan pilihan lama, dari cara hidup yang lama, untuk menuju pilihan baru yang ‘lebih’ baik.
Tetapi, benarkah bahwa hidup itu benar-benar sebuah pilihan? Sayangnya tidak segampang itu. Banyak sekali hal yang tidak bisa dipilih. Tidak semua orang mampu memilih. Ada kalanya orang harus tetap menjalani sesuatu, walau sebenarnya ia tahu betul bahwa itu bukan pilihan yang terbaik buatnya. Memang, ada kalanya beberapa pilihan masih bisa diperjuangkan, ada kalanya justru malah sangat mudah dipilih (misalnya, nanti malam mau makan di hik mana?). Tetapi, hidup berkata lain. Sering kali manusia dibenturkan pada situasi-situasi di mana ia tidak mampu memilih. Akhirnya? Ia hanya menjalani sesuatu yang dipilihkan orang lain untuknya, atau sekedar pasrah menjalani apa yang sudah ada, tanpa tahu harus bagaimana.
Lihat sub judul di atas. Hampir semua manusia Indonesia tidak mampu memilih agamanya. Ia hanya dipilihkan oleh orang tuanya. Dididik sejak kecil untuk menganut agama tertentu yang dianggap benar oleh orang tuanya. Membelot? biasanya hanya akan dicap sebagai pengkhianat. So sad, but that’s the fact! Adakah dari orang tua yang mendidik anaknya tanpa dasar agama apapun? Baru setelah anak itu dewasa dan memahami setiap agama satu-per-satu, dia dibebaskan memilih agama yang terbaik buatnya? Walau berbeda dari orang tuanya? Saya gak yakin ada orang tua Indonesia yang seperti itu.. haha..
Kalaupun sesudah dewasa dan lebih mampu ‘melihat’, mungkin si anak bisa berpikir untuk berpindah agama yang menurutnya lebih baik. Tetapi, itu pun gak gampang. Ada tuh sepupu aku yang berpindah dari Islam ke Kristen, dulunya anak pesantren. Akibatnya? Dia kehilangan hampir semua temannya, sempat dipukuli dan dicap pengkhianat oleh sahabatnya sendiri, dibentak-bentak dan sempat diusir orang tuanya, bahkan rumahnya sempat dilempari batu. Ada juga teman sepermainan aku yang berpindah dari Katolik ke Islam karena menikah dengan gadis muslim. Akibatnya? Ia diasingkan oleh kedua orang tuanya, gak dianggap anak lagi. Bahkan kedua orang tuanya tidak mau hadir di pernikahannya. Dan setahuku, sampai sekarang ia tidak berani lagi pulang atau sekedar mampir ke rumah orang tuanya karena khawatir dihakimi.
Setiap orang tua cenderung menanamkan (atau mendoktrin) apa yang dia anggap baik kepada anak-anaknya, kalo perlu pake ngotot, entah gimana caranya pokoknya harus nurut.. hihi.. Anyway, it’s ok.. no problem with that.. it’s natural.. ^^. Yah ini hanya sekedar contoh saja bahwa tidak semua hal bisa segampang itu dipilih.
Bukan hanya agama, banyak sekali hal lain yang memang benar-benar sulit dipilih. Kadang manusia harus menjalani sesuatu yang bukan pilihannya untuk melegakan orang lain, untuk menjadikan situasi lebih baik, menghindari konflik, dan sebagainya. Kadang sampai muncul pertanyaan klise semacam “Seandainya bisa memilih, aku ingin dilahirkan dari keluarga yang kaya” dan seabreg yang lain. Kadang seseorang memang harus mentok pada sebuah pilihan, ia harus tetap mau menjalani itu, apa pun konsekwensinya.
Yah, berat memang ketika harus menjalani sesuatu yang bukan pilihan diri sendiri, serasa menjadi orang lain, serasa tidak bahagia, can’t find yourself! Aku sendiri memang pernah (bahkan sering) terjebak pada situasi-situasi semacam itu. Tetapi, sekali lagi, kembali pada paragraf awal di atas.. jika memang masih ada kemungkinan dibenahi, kenapa tidak coba diperjuangkan? mentok? Lalu bagaimana jika memang tidak mungkin?
Kadang hanya butuh sedikit keberanian dan kesabaran untuk memilih. Jika tidak mampu memilih sekarang, yah mungkin nanti. Asal tetap sadar dan jangan larut berlama-lama. So, jika memang harus pasrah dengan keadaan sekarang, ya berarti harus tetap dalam keadaan “sadar“..bukannya menyerah, tetapi benar-benar menunggu waktu yang tepat untuk “keluar” dan kembali pada pilihan yang seharusnya. Itu pun harus ada “time limit“-nya. Jangan terlalu lama, kadang pilihan yang salah bisa membenamkan kita pada keadaan yang makin lama makin mendalam. Makin lama waktunya, maka akan “makin susah keluar” nya. Hanya butuh sedikit keberanian untuk bilang “Stop, sudah cukup! I wanna quit, now!”. Yup, “Sekarang” bisa menjadi waktu yang paling tepat.
Satu hal lagi, gak perlu menyalahkan orang hanya karena pilihannya berbeda. Ingat penjelasan di atas, tidak semua hal bisa dipilih. Aku dan kamu pun sering terjebak pada saat-saat di mana tidak mampu memilih, lalu kenapa harus menyalahkan orang lain hanya karena berbeda? Yah siapa tahu mungkin itu bukan pilihannya.. atau memang hanya itu yang terbaik untuk dia saat ini. Hormati pilihan dan keadaannya. Di-“hormati” loh yaa.. yang berarti dilihat, diperhatikan, dan dipedulikan.. kalau perlu juga dibantu agar lebih baik, bukan sekedar dicuekin atau dibiarin, sama aja kalo gitu. Karena, bagaimana pun, kita juga butuh dihormati dan dihargai, apapun keadaan dan pilihan yang kita ambil. Cukup Fair, kan? 😉
yup… tak semua hal bisa dipilih
cerita tentang pindah agama itu miris sekali ya di negara kita tercinta ini. Kelakuannya sudah gak agamis lagi tuh. Justru di negara2 yg gak begitu mengenal agama, tingkah lakunya malah agamis. Aku pernah tuh baca artikel, di Iceland sana, Negara dengan tingkat kriminalitas paling rendah sebumi, kalau penduduknya ditanya agamanya apa, mereka menjawab “kindness”. Hahaha, keren banget tuh jawabannyaaaa
jadikanlah yang terbaik dalam hidup ini